Sikap Playing Victim: Si Pemain Drama Tanpa Sutradara

Meylan .DA

sikap playing victim

Sikap Playing Victim, Pastinya kamu pernah bertemu seseorang yang selalu terkesan tidak beruntung dan sering kali merasa sebagai korban dari setiap situasi, kan? Atau, mungkin tanpa sadar, kita sendiri terkadang terjebak dalam pusaran mengasihani diri sendiri? Ya, ini yang dinamakan sikap ‘playing victim’. Sikap ini bukan cuma soal seseorang yang suka mengeluh atau meratap nasib, lho. Lebih dari itu, ini adalah pola pikir di mana seseorang cenderung melempar tanggung jawab atas apa yang terjadi pada dirinya kepada orang lain atau situasi. Mereka sering terlihat tidak berdaya dan terus-menerus mencari pelaku yang bisa disalahkan atas segala hal yang tidak berjalan sesuai keinginan mereka.

Nah, fenomena ‘playing victim’ ini bisa terlihat sepele, tapi sejatinya punya dampak yang cukup luas, baik bagi yang bersangkutan maupun orang-orang di sekelilingnya. Kalau kita tidak waspada, sikap ini bisa berkembang menjadi sebuah drama tanpa akhir yang merenggut energi dan waktu kita. Karena itu, sangat penting untuk memahami kenapa seseorang bisa terjebak dalam perangkap ini dan bagaimana kita bisa menghadapi atau, yang terbaik, menghindari sikap ‘playing victim’ dalam kehidupan kita.

Mengenal Sikap Playing Victim

Playing victim, atau dalam bahasa Indonesia sering diartikan sebagai ‘berperan sebagai korban’, adalah suatu perilaku di mana seseorang cenderung memposisikan dirinya sebagai objek yang menderita akibat peristiwa atau tindakan orang lain, meski kadang-kadang situasi tersebut merupakan hasil dari pilihan atau tindakannya sendiri. Orang yang berperan sebagai korban biasanya akan mencari simpati dari orang lain, melepaskan tanggung jawab atas masalah yang dihadapinya, dan sering kali menghindari untuk mengambil tindakan yang konstruktif untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Istilah ini juga merujuk pada pola pikir yang menolak untuk mengakui kekuasaan diri sendiri dalam berbagai situasi. Sebaliknya, individu yang ‘playing victim’ sering kali menyalahkan keadaan luar atau orang lain atas kesulitan yang mereka alami. Ini merupakan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk mengatasi rasa malu, kegagalan, atau rasa tidak mampu dalam mengelola hidup mereka. Mereka mungkin juga menggunakan strategi ini untuk memanipulasi orang lain demi mendapatkan perhatian atau pengobatan khusus.

8 Penyebab sikap playing victim

ciri ciri playing victim

Penyebab sikap ‘playing victim’ atau berperilaku sebagai korban seringkali kompleks dan berakar dalam berbagai faktor psikologis dan pengalaman hidup seseorang. Mari kita selami beberapa alasan mengapa seseorang mungkin terjebak dalam sikap ini:

  1. Pengalaman Masa Lalu: Seringkali, sikap ini bermula dari trauma atau pengalaman negatif di masa lalu, dimana seseorang mungkin merasa tidak berdaya atau terjebak dalam situasi yang menyakitkan. Pengalaman ini bisa jadi membekas dan membuat seseorang terus merasa sebagai korban bahkan dalam situasi yang berbeda.
  2. Mendapatkan Simpati dan Perhatian: Beberapa orang belajar bahwa dengan mengasihani diri sendiri, mereka mendapat perhatian dan simpati dari orang lain. Ini bisa menjadi cara untuk memanipulasi orang lain agar mendapatkan dukungan emosional atau bantuan praktis.
  3. Ketakutan Menghadapi Tanggung Jawab: Mengakui bahwa kita memiliki kendali atas kehidupan kita sendiri berarti harus menerima tanggung jawab atas pilihan dan tindakan kita. Bagi beberapa orang, lebih mudah untuk merasa bahwa mereka adalah korban keadaan daripada menghadapi kenyataan bahwa mereka memiliki kekuasaan untuk mengubah situasi mereka.
  4. Menghindari Konflik atau Kesulitan: Mengambil peran korban bisa menjadi strategi untuk menghindari konflik atau kesulitan. Orang mungkin merasa lebih aman dalam peran korban daripada menghadapi masalah atau tantangan secara langsung.
  5. Pola Belajar: Jika seseorang tumbuh di lingkungan dimana sikap ‘playing victim’ diperkuat atau diberi hadiah, mereka mungkin tidak pernah belajar cara-cara yang lebih sehat dalam menghadapi kesulitan atau konflik.
  6. Rasa Tidak Berharga: Perasaan rendah diri atau tidak berharga bisa mendorong seseorang untuk merasa sebagai korban karena mereka mungkin percaya bahwa mereka tidak layak mendapatkan yang lebih baik.
  7. Mendapatkan Kontrol: Paradoksnya, seseorang bisa menggunakan sikap ‘playing victim’ sebagai cara untuk mengendalikan orang lain. Dengan mengundang simpati atau rasa bersalah, mereka bisa mempengaruhi tindakan atau reaksi orang di sekitar mereka.
  8. Tidak Mampu Mengelola Emosi: Kekurangan keterampilan dalam mengelola emosi yang kuat atau negatif juga bisa menyebabkan seseorang lebih memilih untuk ‘playing victim’ sebagai bentuk ekspresi emosional atau untuk menarik dukungan.

6 Ciri Ciri Pelaku dengan Sikap Playing Victim

dampak sikap playing victim

Pernah nggak, di tengah-tengah kumpul bareng teman-teman atau keluarga, ada satu bintang yang selalu berperan sebagai korban? Yah, itu tandanya kita sedang bersama seorang ‘pemain victim’. Biasanya, mereka ini punya ciri khas yang nggak sulit buat kita kenali, asal kita tahu aja apa yang harus dicari. Nah, berikut ini beberapa ‘ciri’ yang biasa muncul dari si pelaku drama:

1. ‘Aku Selalu Salah’: Mentang-mentang Sentimental

Yang pertama dan paling klasik, si pelaku suka menunjukkan diri sebagai orang yang selalu dirugikan. Bukan cuma sekali dua kali, tapi kayaknya setiap drama yang terjadi, dia selalu jadi korban. Dari kecilnya kayak ‘Aku nggak dapet kue favoritku’, sampai besar ‘Kenapa sih, semua orang selalu nggak ngerti aku’.

2. Minta Simpati 24/7: Langganan Pusat Perhatian

Langkah kedua yang jadi andalan adalah mencari simpati terus-menerus. Mereka ini master dalam membuat orang lain merasa kasihan. Dialog favoritnya bisa jadi, ‘Kamu nggak akan pernah ngerti gimana beratnya hidupku’.

3. Tolak Tanggung Jawab: ‘Bukan Salahku, Tapi…’

Ini dia, salah satu ciri utama: penolakan untuk mengambil tanggung jawab. Ada aja alasan atau orang lain yang ‘patut’ disalahkan. Kalimat andalannya, ‘Saya mau melakukan yang terbaik, tapi karena mereka…’.

4. ‘Semua Orang Jahat ke Aku’: Dunia Konspirasi Pribadi

Mereka juga suka banget merasa bahwa semua orang di sekitarnya adalah musuh yang berkonspirasi untuk menjatuhkannya. ‘Lihat aja, semua orang di kantor itu pasti ngomongin aku’.

5. Koleksi Kenangan Pahit: Album Hitam Masa Lalu

Satu lagi, mereka ini juaranya menyimpan kenangan buruk. Setiap kesempatan nggak akan disia-siakan buat mengingat kembali semua hal buruk yang pernah terjadi. ‘Ingat nggak waktu itu, kamu…’.

6. Pintar Manipulasi Emosi: Sutradara Tanpa Kamera

Terakhir, mereka punya kemampuan manipulasi yang tinggi, terutama dalam hal emosi orang lain. Mereka tahu persis tombol apa yang harus ditekan supaya mendapatkan reaksi yang mereka inginkan.

Baca juga Mengencangkan Perut: Obsesi Semua Wanita, Ini Rahasianya

5 Dampak dari Sikap Playing Victim

Sikap ‘playing victim’ ini kayak efek domino yang bikin suasana jadi gak asyik. Cekidot dampak-dampak yang sering terjadi:

1. Suasana Hati Ikutan Down

Kalau ada satu orang yang terus-terusan bawa aura negatif, suasana hati yang tadinya cerah bisa ikutan mendung, lho. Jadi, bukan cuma dia aja yang merasa jadi korban, tapi teman atau saudara di sekitarnya juga ikut kecipratan aura ‘duh kasian ya’.

2. Kepercayaan Menjadi Kurang

Dari sikap korban terus-menerus ini, orang di sekitar jadi susah percaya. Soalnya, ‘kan, mereka sering merasa diperalat untuk simpati atau bahkan dimanipulasi. Hubungan yang seharusnya dibangun di atas kepercayaan jadi retak dan bikin semuanya jadi serba salah.

3. Konflik Jadi Makanan Sehari Hari

Yup, hubungan interpersonal jadi rawan konflik karena komunikasi yang terus menerus diselimuti misunderstanding dan asumsi-asumsi negatif. Yang seharusnya bisa diselesaikan dengan obrolan ringan, jadi perdebatan panjang lebar.

4. Energi Makin Terkuras 

Orang yang sering berinteraksi dengan pemain victim bisa merasa emotionally drained, alias kehabisan energi secara emosional. Kayak baterai handphone yang lowbat terus karena aplikasi yang boros energi, kita pun bisa ‘lowbat’ karena terus-menerus menghadapi drama.

5. Kehilangan Momentum Kebahagiaan

Ini dia yang paling disayangkan. Karena terus terfokus pada si pemain victim, momen-momen bahagia yang seharusnya bisa dinikmati bersama jadi terlewat begitu saja. Kita jadi terjebak dalam lingkaran negatif yang gak pernah selesai.

7 Strategi Mengatasi dan Menanggapi Sikap Playing Victim

Simak nih, beberapa strategi jitu yang bisa kalian coba!

1. Jadi Pendengar yang Aktif, Tapi Tetap Kritis

Pertama, dengerin mereka dengan baik. Tapi ingat, jangan langsung terjebak dalam permainan mereka. Kadang, seseorang butuh didengar, tapi jangan sampe kamu jadi ‘tembok ratapan’ yang terus-menerus mereka gunakan.

2. Batasan adalah Kunci: Jangan Biarkan Dirimu Tersedot

Pasang batas! Ini penting banget, guys. Kamu harus tegas dalam menentukan seberapa jauh kamu mau terlibat dalam masalah mereka. Ingat, kamu bukan superhero yang bertugas menyelamatkan dunia.

3. Bicara dengan Data, Bukan Emosi

Kalau mereka mulai dengan cerita yang melebih-lebihkan, ajak mereka kembali ke faktanya. Ajukan pertanyaan-pertanyaan yang memaksa mereka untuk melihat situasi dari perspektif yang lebih realistis.

4. Tawarkan Solusi, Bukan Simpati

Alih-alih memberi simpati yang mereka harapkan, cobalah tawarkan solusi. Ini bisa membantu mereka melihat bahwa ada cara untuk mengatasi masalah mereka daripada hanya meratapi nasib.

5. Ajak Refleksi Diri: Cermin adalah Sahabat

Encourage mereka untuk self-reflection. Tanya apa yang bisa mereka pelajari dari situasi tersebut dan bagaimana mereka bisa bertumbuh dari pengalaman itu.

6. Stay Positive dan Jaga Energi Kamu

Tetap positif dan jaga energimu. Jangan biarkan energi negatif mereka meracuni pikiran dan hatimu. Kamu berhak untuk tetap ceria dan bersemangat!

7. Pintar-Pintar Milih Pertarunganmu

Tidak semua pertarungan perlu diikuti. Kadang, yang terbaik adalah mundur dan membiarkan mereka menghadapi konsekuensi dari tindakan mereka sendiri.

Studi Kasus Sikap ‘Playing Victim’

1. Skenario Kantor: “Oh, Kenapa Selalu Saya?”

Kamu kenal kan, tipe rekan kerja yang selalu merasa dia yang paling sial, paling sibuk, paling tidak dihargai? Setiap meeting, dia pasti punya serangkaian keluhan yang sama.

Studi Kasusnya Gimana?

Coba ajak dia ngobrol santai, tanyakan secara spesifik apa masalahnya dan ajukan solusi. Bantu dia untuk melihat bahwa bukan hanya dia yang punya beban kerja dan tantangan.

2. Skenario Keluarga: “Semua Orang Menyalahkan Saya”

Nah, ini biasa terjadi pas kumpul keluarga. Ada satu anggota keluarga yang merasa jadi ‘kambing hitam’. Dia selalu merasa bahwa semua orang tidak mendukungnya.

Studi Kasusnya Gimana?

Pendekatan empati penting di sini. Dengerin dia, tapi juga tegaskan bahwa kamu ngerti setiap orang punya versi ceritanya sendiri. Tawarkan untuk duduk bersama dan bicarakan masalahnya secara terbuka.

3. Skenario Pertemanan: “Kalian Semua Bersenang-senang Tanpa Saya”

Kamu punya teman yang sering ngambek karena merasa ditinggalkan atau tidak diundang? Meskipun kenyataannya, dia sering kali yang menolak undangan dengan berbagai alasan.

Studi Kasusnya Gimana?

Kasih dia perspektif bahwa sosialisasi itu dua arah. Kamu bisa minta dia untuk inisiatif juga, misal dengan mengajak teman-teman lainnya hang out, jadi dia tidak selalu merasa seperti ‘penonton’.

4. Skenario Pasangan: “Kamu Tidak Pernah Mengerti Saya”

Ini klasik! Pasangan yang satu merasa dirinya selalu dimisunderstood dan yang lainnya tidak pernah berusaha mengerti.

Studi Kasusnya Gimana?

Kuncinya adalah komunikasi. Buka ruang dialog dimana keduanya bisa mengekspresikan perasaan tanpa ada yang merasa diserang. Kadang, yang dibutuhkan hanya kesediaan untuk mendengarkan dan validasi emosi tanpa judgement.

memahami sikap playing victim itu bukan cuma soal menilai orang lain, tapi juga introspeksi diri. Kita semua punya potensi untuk terjebak dalam peran korban ini, namun kita juga punya kekuatan untuk memutus siklus tersebut.

pendekatan kita dalam merespons orang yang suka ‘playing victim’ bisa menentukan arah hubungan. Dengan empati dan komunikasi yang efektif, kita bisa bantu mereka (atau diri sendiri) untuk bangkit dari perasaan tidak berdaya dan menuju pemberdayaan diri.

Artikel Terkait

Leave a Comment